Sengketa transfer pricing terus menjadi salah satu area paling kompleks dalam litigasi perpajakan, seringkali berpusat pada metodologi dan analisis kesebandingan. Kasus banding yang diajukan oleh PT AI menjadi studi kasus yang relevan, di mana sengketa tidak terletak pada pemilihan metode—kedua pihak sepakat menggunakan Transactional Net Margin Method (TNMM)—melainkan pada aplikasinya. DJP melakukan koreksi penyesuaian fiskal positif sebesar Rp49 miliar setelah menolak set perusahaan pembanding yang digunakan PT AI dan menerapkan analisisnya sendiri. Putusan atas kasus ini memberikan pelajaran kritis tentang cara mempertahankan analisis transfer pricing dan kekuatan hukum dari "rentang wajar" (arm's length range) sebagai sebuah safe harbor.
Konflik dalam sengketa ini berakar pada proses analisis benchmarking. Argumen DJP didasarkan pada kewenangannya dalam Pasal 18 ayat (3) UU PPh. DJP menolak 5 dari 6 perusahaan pembanding yang digunakan PT AI dengan alasan memiliki fungsi yang tidak sebanding (misalnya, manufaktur dan jasa). DJP kemudian menyusun set pembanding baru yang dianggapnya lebih "murni" sebagai distributor, dan berdasarkan analisis baru ini, laba operasi PT AI disimpulkan berada di luar rentang wajar. Di sisi lain, PT AI memberikan bantahan berlapis. Mereka berargumen bahwa standar kesebandingan DJP terlalu kaku untuk analisis TNMM. Lebih jauh, PT AI membuktikan bahwa set pembanding baru pilihan DJP justru lebih tidak sebanding karena banyak di antaranya memiliki fungsi R&D dan manufaktur yang signifikan. Poin krusialnya, PT AI berhasil menunjukkan bahwa laba operasinya telah berada di dalam rentang wajar yang dihitung dari set pembanding yang valid, sehingga DJP tidak memiliki dasar hukum untuk melakukan koreksi.
Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim sepenuhnya setuju dengan argumentasi PT AI. Majelis menilai penolakan pembanding oleh DJP tidak didasarkan pada bukti kuat, sedangkan pemilihan pembanding baru cenderung subjektif. Pertimbangan paling menentukan bagi Majelis adalah fakta bahwa laba operasi PT AI (ROS sebesar 1,10%) terbukti berada di dalam rentang kewajaran yang dihasilkan dari set pembanding yang andal (antara 1,04% hingga 1,14%). Majelis Hakim menegaskan prinsip hukum fundamental: jika laba Wajib Pajak sudah berada dalam rentang wajar, maka kewenangan DJP untuk melakukan koreksi berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UU PPh menjadi gugur. Putusan ini memiliki implikasi signifikan karena memperkuat fungsi rentang wajar sebagai "safe harbour". Ini menandakan bahwa DJP tidak dapat secara sepihak melakukan penyesuaian ke titik tertentu jika hasil transaksi Wajib Pajak sudah terbukti berada di dalam rentang kewajaran tersebut.
Sebagai kesimpulan, kasus transfer pricing PT AI ini menjadi preseden penting yang menegaskan bahwa Wajib Pajak dengan Dokumentasi Penetapan Harga Transfer yang solid dapat secara efektif mempertahankan kebijakan harga transfernya. Pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa investasi pada analisis benchmarking berkualitas tinggi, termasuk analisis fungsional yang mendalam dan verifikasi data yang cermat, merupakan strategi mitigasi risiko yang sangat efektif. Bagi perusahaan multinasional, putusan ini menggarisbawahi pentingnya untuk tidak hanya mematuhi kewajiban formal, tetapi juga siap secara substantif untuk mempertahankan kewajaran transaksinya dengan berfokus pada pembuktian bahwa profitabilitas perusahaan berada di dalam rentang yang wajar.